Bagaimana di Indonesia? Belum
ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia,
namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang
Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya
peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang
autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per
500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian
Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat
kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut
menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai
karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta,
kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta
spektrumnya?
Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku
pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan
mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih
dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap
relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya
adalah:
Kurangnya tenaga terapis yang
terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi
sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun
berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak
mereka sendiri.
Belum adanya petunjuk treatment yang
formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk
teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur
kehidupan anak-anak Indonesia.
Masih banyak kasus-kasus autisme
yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar
maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para
ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan
karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan
pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh
wilayah di Indonesia.
Belum terpadunya penyelenggaraan
pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis
dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan
ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam
sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan
oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
Permasalahan akhir yang tidak kalah
pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang
didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated
Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi
dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung
oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua
yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu.
Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama
bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga
bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin
terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik
yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di
Indonesia.
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi
apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para
orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan
dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak
mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu
ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti
gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah
dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme.
Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal
dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum
dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan
perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech
Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis
(ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian
sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak
menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi
orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung
kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini
adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu
yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Educational Treatment, meliputi
tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang
prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan
dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan
dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of
Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
Biological Treatment, meliputi
tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan
untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai
diri sendiri, dsb.).
Speech – Language Therapy (Terapi
Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi
dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan
komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa
isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan
pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi
kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di
rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris,
meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory
Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk
memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan
mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data
ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua
di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu
penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki
anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum
lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu
sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang
ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin
secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang
berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak,
berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat
anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai
basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan
anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah
terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan
berjalan efektif.
Namun demikian, tentukan salah satu
jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan
atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi.
Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara
konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan
kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar