Sabtu, 10 September 2011

Berbagi Cerita dan Cinta di PerpusKreatif



Masih di hari yang sama dengan agenda kegiatan Sarapan Bersama, karena aku berjanji untuk mengunjungi tempat teman aku mengadakan kegiatan untuk anak-anak sekitar lingkungan tempat tinggalnya. 

Kak @inandatiaka dan kawan-kawan di kantornya yang pertama kali menemukan tempat atau bisa dibilang rumah belajar yang di inisiasi olrh Pak Indra. Sekitar 2 tahun yang lalu (kalau tidak salah), tempat ini masih belum sebesar dan sebagus sekarang. Tempatnya hanya mengandalkan sepetak ruang ukuran 2x4m saja. 

Pak Indra tidak menyangka jika kak Nanda dan kawan-kawannya akan kembali lagi mengunjungi tempat yang ia dirikan untuk mengajar anak-anak di lingkungan rumahnya. Dan juga tidak disangka bahwa dari teman-teman kak Nanda-lah renovasi pertama untuk tempat yang sekarang ini menjadi Perpuskreatif ini. 

Metode di sini awalnya membatasi anak yang datang, seperti layaknya jam bimbingan belajar/les. Tetapi Pak Indra melihat jika anak-anak di sekitar haus akan hal seperti ini, dan mengkhawatirkan akan dampak teknologi dan informasi yang tidak bisa disaring dan tidak ada yang menyaring, apakah itu orang tua, lembaga ataupun pihak yang mengadakan teknologi dan informasi tersebut (baca:warnet)


Ya, warnet itu jahat. Itu kata Pak Indra. Karena anak-anak itu menjadi senang sekali berjam-jam di depan kotak berwarna yang ramai itu. Dan juga membuang uang hanya untuk permainan online yang tidak menghasilkan apa-apa. Sehingga akhirnya, beliau memutuskan untuk berhenti bekerja (beliau juga guru Sekolah Dasar rupanya), dan fokus untuk memperhatikan anak-anak di lingkungan sekitar. Dan memang, banyak rekan sekerjanya yang menganggap itu ide yang gila, aneh. Rela membuang rejeki yang sudah pasti untuk sekedar mengurusi anak-anak seperti itu. Yang memang tidak ada yang memberikan gaji, semua sukarela. Tetapi, jika memang sudah dari hati menyukai bidang pendidikan ini, uang tidak menjadi ukuran. 

Dan hari ini, aku mencoba untuk memberikan cerita kepada mereka,dengan cerita yang sama, yaitu "Monyet dan Penjual Peci". Dan juga diselipkan dengan kerja kreatif. Yaitu membuat peci menggunakan kertas koran.

Di sini, anak-anak ini sangat berbeda karakteristiknya dengan anak-anak yang ada di kolong jembatan Kampung Melayu yang pernah aku dan teman-teman kunjungi. Di sini anak-anaknya lebih sangat ekspresif dan juga tidak sungkan-sungkan untuk berbicara atau bahkan memotong pembicaraan. Ya, mungkin karena lingkungannya yang membuat mereka seperti itu, dan mereka banyak sekali menemukan orang-orang yang berbeda secara individual. Tidak seperti anak-anak yang di kolong jembatan, yang sehari-harinya hanya bertemu dengan orang yang sama.

Tetapi, ada satu anak yang memang sangat berani berbicara, berani berpendapat, bahkan berani untuk memotong pembicaraan dan juga pada awalnya melawan. Menolak sih lebih tepatnya. Karena ia berpikir jika dongeng dan cerita ini hanya untuk anak yang kecil sekali. Dia merasa sudah besar dan tidak pantas mendengarkan cerita. Tetapi, karena ada suatu pekerjaan yang menghasilkan, tidak hanya mendengarkan cerita, dia perlahan-lahan ikut bergabung kembali. Dan dari dialah ide untuk membuat sangkutan di dagu supaya pecinya tidak jatuh. Pintar sekali. 

Aku sebut pintar, karena tidak ada satupun anak yang mencetuskan ide tersebut. Itu adalah ciri jika dia itu sebenarnya anak yang cerdas, bukan nakal, bukan suka melawan. Tetapi, itulah salah satu dari sikap berekspresi dan menunjukkan ide-idenya.


Semoga, idemu, ide kalian tidak berhenti sampai di sini, tidak berhenti sampai di membuat peci saja.

Sampai bertemu kembali...








Tidak ada komentar:

Posting Komentar